Showing posts with label TAJUK OPINI. Show all posts
Showing posts with label TAJUK OPINI. Show all posts

Selayang Pandang Memaknai Di bulan Suci Ramadhan.Kadiv Humas DPP Fast Respon Nusantara D.Silalahi Mengucapkan Selamat Idul Fitri 1443 H

 


Jakarta.lpk.Trankonmasi.com

 Dengan hari penuh Berkah dan Sedekah ini, semua Hidayah DARINYA. Sebentar lagi kita akan meraih dipintu gerbang Kemenangan dalam 1(satu) bulan penuh melawan hawa nafsu. Sehingga kita akan menyuarakan hari kemenangan dengan suara takbir.... Yang menghiasi di atas cakrawala dan mengema  dijagat Raya hingga dipenjuru dunia.

Dalam Selayang Pandang. Kadiv.Humas. DPP. Fast Respon Nusantara. Dani Silalahi. Saat ditemui dikediamannya. Oleh.Trankonmasi.Com. Menyampaikan. Bahwa Momentum Hari Raya Idul Fitri ( Lebaran ) merupakan akhir dari pelaksanaan Ibadah Puasa yang diperintahkan Allah SWT kepada umat Islam yang bertakwa/Beriman kepada Allah SWT, sebagai mana yang diperintahkan Allah SWT dalam Qur'an surat Al Baqarah ayat 183.

Selama 30 hari kita melaksanakan kegiatan ibadah puasa serta ibadah ibadah lainnya seperti sembahyang Taraweh, Tadarus/ membaca Alquran, ada malam malam yang sangat spesial yaitu malam nujulul Qur'an dan malam Laillatul Qadar *( Malam seribu bulan )* kebaikan dan diakhiri dengan membayar Zakat fitrah serta melantunkan takbir semalam suntuk kemudian esok hari nya di akhiri dengan melakukan shalat Idul Fitri.

Momen Hari Raya Idul Fitri sangat dinantikan oleh seluruh umat muslim di Indonesia khususnya, dimana pada hari itu momen untuk berkumpul bertemu saudara, orang tua dan Handai taulan serta kerabat juga sahabat, ada kesedihan, berbaur dengan kebahagiaan disetiap hati manusia dihari itu, cucuran air mata kebahagiaan saling berjatuhan disudut mata setiap orang," Tuturnya dengan rasa haru.

 "apalagi dibarengi dengan suara takbir bergema bersahutan di setiap Mesjid dan Mushola yang ada di pelosok negeri maupun di seluruh dunia,

Seperti di katakan oleh pujangga Arab dalam syair nya, '' Jikalau pedang melukai tubuh masih kan ada harapan sembuh""

Jikalau lidah melukai hati kemana obat Hendak dicari," ucap Dani.

 Dari kalimat dan intisari dari syair tersebut di atas,  saya atas nama  KADIV HUMAS DPP Fast Respon Nusantara D.Silalahi dan seluruh jajaran serta seluruh media yang tergabung dalam Fast Respon Nusantara mengucapkan Selamat Hari Raya Idhul Fitri 1443 H. Tahun 2022, "" *"Minal Aidzin Walfaidzin Mohon Maaf Lahir dan Bhatin"* *"Takobalallohu Mina Waminkum Siyamana Wasiyamakum"*

Mari kita jadikan momentum Ibadah Puasa ini dan Hari Raya Idul Fitri 1443.H. Tahun 2022, bahan introspeksi diri, jadikan Evaluasi pribadi  serta sebagai Edukasi dalam menjalani kehidupan dan hidup di dunia ini, semoga apa yang menjadi asa, cita cinta dan cita cita senantiasa diridhoi Allah SWT....Aamiin....3X Yaa Rabbal Alamiin. Semua Kesempurnaan itu, hanyalah milik Allah SWT. Aamiin,"Ucapnya.

(Rhagil234)

Dewan Pers Tuai Pro dan Kontra, "Perlukah Mandat Penguatan Dewan Pers Dicabut???"

 


Beragam komentar dan pendapat di berbagai grup aplikasi Whatsapp memenuhi kolom komentar di grup WA wartawan se Indonesia terkait pelaksanaan pelatihan asesor kompetensi yang diselenggarakan LSP Pers Indonesia di Jakarta baru-baru ini.

Judul berita menjadi topik hangat yang dibicarakan. Ini menunjukan bahwa dinamika dalam mejalankan profesi itu sudah menjadi hal yang lumrah di kalangan wartawan Pers

Tidak bisa dipungkiri bahwa ada kecenderungan terjadi polarisasi dalam kehidupan pers di Indonesia. Ada kubu yang dipotret abal-abal dan kubu yang dipotret sebagai wartawan profesional dan kompeten.


 


Situasi dan kondisi ini terus bergulir sejak tiga tahun terakhir ini. Dan memuncak pada pelaksanaan pelatihan asesor kompetensi yang diikuti puluhan wartawan dari kelompok yang dianggap abal-abal.


Kelompok ini berusaha membuktikan bahwa potret abal-abal yang disematkan selama ini justeru menjadi peluang dan tantangan untuk membenahi kehidupan pers Indonesia ke arah yang lebih baik.


Beberapa wartawan dari kelompok yang dilabel profesional pun ikut juga diajak menjadi peserta pelatihan ini. Bahkan salah satu pesertanya merupakan penguji kompetensi yang berasal dari Dewan Pers.


Sebagian dari peserta pelatihan asesor ini memegang sertifikat Kompetensi Wartawan Utama versi Dewan Pers.


Hal ini cukup membuktikan bahwa praktek sertifikasi kompetensi bidang wartawan yang dilaksanakan selama ini oleh kelompok yang diangap profesional ternyata melanggar aturan perundang-undangan dan berimplikasi pidana.


Penegasan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menjawab persoalan bahwa domain sertifikasi kompetensi ada pada Pendidikan Tinggi berlisensi dan Badan Nasional Sertifkasi Profesi.


Dua lembaga ini yang diberi kewenangan sesuai Undang-Undang tersebut di atas.


Pada pasal 44 UU Pendidikan Tinggi bahkan secara tegas menyebutkan : “Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak dilarang memberikan sertifikat kompetensi.” Artinya aturan ini belaku di seluruh Indonesia bagi semua orang, semua organisasi, dan semua penyelenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak dilarang memberikan sertifikat kompetensi.


Hukuman atas pelanggaran pasal ini pun tidaklah main-main sebagaimana diatur pada Pasal 93 Undang-Undang ini yakni dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak satu miliar rupiah.


Terlepas dari semua itu, kita menengok sedikit ke belakang, bahwa Indonesia pernah melewati sejarah kelam kemerdekaan pers.


Dewan Pers dan terutama Departemen Penerangan RI yang dianggap membelenggu kemerdekaan pers di era Orde Baru akhirnya tumbang dan dibubarkan.


Tidak ada lagi Depen RI dan Dewan Pers menyusul Undang-Undang pokok Pers era Orde Baru dinyatakan tidak berlaku.


Draft Undang-Undang Pers tahun 1999 kemudian dipersiapkan oleh para pejuang kemerdekaan pers bersama-sama dengan puluhan pimpinan organisasi-organisasi pers, termasuk Ketua Umum SPRI ketika itu dijabat Lexy Rumengan.


Dalam draft asli UU Pers Tahun 1999 itu tadinya tidak ada yang mengatur tentang Dewan Pers.


Menurut pengakuan dua saksi sejarah yang masih hidup, Lexy Rumengan, yang kini berdomisili di Amerika Serikat, dan Hans Kawengian (Ketua Umum KOWAPPI) bahwa saat pembahasan draft UU Pers tersebut berlangsung, Jacob Utama selaku tokoh pers senior, mengusulkan pasal tentang Dewan Pers disisip di tengah-tengah Undang-Undang dengan tujuan agar ada wadah yang bisa mempersatukan seluruh organisasi pers dalam melindungi kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional.


Usulan itu menurut Kawengian dan Rumengan, sempat mendapat penolakan dari beberapa pimpinan organisasi pers karena trauma dengan masa lalu.


Namun karena lobi-lobi yang dilakukan Jacob Utama akhirnya berhasil membuat seluruh peserta menyetujui pasal tentang Dewan Pers dimasukan dalam UU Pers, namun tidak dicantumkan pada Ketentuan Umum Pasal 1 lalu disisip di tengah-tengah Undang-Undang yakni di pasal 15 agar tidak dominan jika ditempatkan di pasal 1 Ketentuan Umum Undang-Undang Pers.


Setelah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers ini disahkan, Dewan Pers yang kemudian terbentuk, lebih banyak diam dan tidak berfungsi.


Organisasi-organisasi pers begitu merdeka dan dominan menjalankan aktifitas pegembangan kemerdekaan pers dan peningkatan kualitas pers nasional secara mandiri dan bertanggung-jawab.


Situasi itu kemudian berubah, ketika pada tahun 2006 Dewan Pers membujuk dan mengajak puluhan pimpinan organisasi pers untuk berkumpul dan membahas konsep tentang penguatan terhadap kelembagaan Dewan Pers melalui kegiatan Lokakarya pada tanggal 13 Agustus 2003 di Jakarta.


Dan pada akhirnya 29 pimpinan organisasi pers membuat pernyataan dan sepakat memberi “hadiah” mandat penguatan kelembagaan terhadap Dewan Pers karena menganggap perlindungan terhadap profesinya bisa ikut terjamin dengan adanya penguatan peran Dewan Pers.


Sesudah itu terbitlah Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 05/SK-DP/111/2006 tentang Penguatan Peran Dewan Pers.


Namun sayangnya penerapan atau implementasi dari penguatan kelembagaan Dewan Pers ini salah diterjemahkan oleh pengurus Dewan Pers di tahun-tahun berikutnya.


Bahkan ketentuan yang disepakati justeru tidak dilaksanakan secara menyuluruh oleh Dewan Pers hingga saat ini.


Ada beberapa poin penting dalam isi penguatan kelembagaan Dewan Pers ini justeru dilanggar oleh Dewan Pers.


Salah satunya adalah pada poin ke 10, Dewan Pers perlu terus mendorong berlakunya pasal-pasal yang mendukung dekriminalisasi terhadap karya jurnalistik atau tidak menganggap pelanggaran hukum dalam karya jurnalistik sebagai kejahatan.


Pada poin ke 10 huruf d, diatur tentang penerapan sanksi perdata terhadap karya jurnalistik dan hendaknya berupa denda proporsional yang tidak menyulitkan kehidupan pihak pembayar atau membangkrutkan perusahaan yang harus membayar denda, karena putusan hukum yang berakibat demikian serupa dengan putusan politik berupa pembredelan terhadap media pers.


Sayangnya poin yang mengatur tentang perlindungan terhadap karya jurnalistik ini tidak dijalankan sesuai mandat dan amanah yang diberikan kepada Dewan Pers.


Contoh kasus yang menghebohkan jagad pers tanah air, Muhamad Yusuf yang bekerja di media Kemajuan Rakyat dan Sinar Pagi Baru, dikriminalisasi akibat berita yang ditulisnya tentang rakyat yang terzolimi oleh perlakuan perusahaan, justeru direkomendasi Dewan Pers untuk diproses dengan ketentuan hukum lain di luar UU Pers.


Almarhum Yusuf pun dikriminalisasi dan ditahan, dan akhirnya tewas dalam tahanan.


Dia harus menerima nasib sebagai wartawan yang berita kontrol sosialnya direkomendasi Dewan Pers sebagai “kejahatan” dan layak diteruskan dengan hukum di luar Undang-Undang Pers.


Pengingkaran terhadap kesepakatan penguatan peran Dewan Pers juga adalah mengenai pembentukan Perwakilan Dewan Pers di berbagai daerah sebagaiamana diatur dalam poin ke 2.


Sampai sekarang nyaris tidak ada perwakilan Dewan Pers di daerah yang terbentuk. Kondisi ini yang menyebabkan semua pihak yang merasa dirugikan atau keberatan atas pemberitaan di media akan lebih memilih melaporkan wartawan atau media ke pihak Polisi jika ada sengketa pers, bukannya ke Dewan Pers.


Hal itu disebabkan akses untuk melaporkan sengketa pers di daerah tidak ada. Karena keberadaan Dewan Pers hanya ada di Jakarta.


Pos pegaduan di daerah tidak ada sama sekali. Akibatnya, kriminalisasi pers makin marak terjadi selang kurun waktu 3 tahun terakhir ini.


Yang lebih aneh lagi, Dewan Pers membuat peraturan tentang Standar Organisasi Pers dan kemudian menentukan sendiri konstituen organsiasi yang dianggap sesuai standar Organisasi Pers yang dibuatnya.


Organisasi-organisasi pers yang dulunya memberi mandat penguatan peran Dewan Pers tidak diakui sebagai konstituen secara sepihak oleh Dewan Pers.


Padahal, tanggung-jawab Dewan Pers untuk melakukan asistensi dan pembinaan agar organisasi pers sesuai standar yang ditetapkan bersama.


Fakta ini telah menjadi sejarah kelam bahwa organisasi-organisasi pers yang memberi mandat kepada Dewan Pers untuk penguatan peran Dewan Pers justeru dikhianati.


Pola penerapan kebijakan Dewan Pers pun terhadap media-media yang marak bermunculan di seluruh penjuru tanah air hampir sama.


Ketika kebijakan Standar Perusahaan Pers diterbitkan, perusahaan pers disuruh mendaftar dan diverifikasi.


Lalu yang tidak punya modal untuk mendaftarkan perusahaanya ke Dewan Pers di Jakarta kemudian dilabeli atau dipotret sebagai perusahaan media abal-abal dan didirikan untuk tujuan memeras.


Tanggung jawab Dewan Pers untuk melakukan pembinaan terhadap kehidupan pers nasional tidak terjadi pada kondisi ini. Dewan Pers malah sibuk memotret media yang belum diverifikasi sebagai media abal-abal.


Trik ini untuk menekan media agar berbondong-bondong mendaftarkan medianya masing-masing demi selembar pengakuan sebagai media terverifikasi kendati amanat UU Pers bentuknya adalah hanya mendata perusahaan pers.


Tapi terjemahannya adalah memverifikasi perusahaan pers. Itu (verifikasi perusahaan pers) menjadi identik dengan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers atau SIUPP di era Orde Baru.


Sejarah kelam kemerdekaan pers itu seolah lahir kembali menjelma menjadi bentuk surat bukti Verifikasi Perusahaan Pers.


Undang-Undang Pers tahun 1999 lahir dengan nafas kebebasan pers agar perusahaan pers bebas didirikan tanpa ada persyaratan tambahan, selain syarat Berbadan Hukum Indonesia.


Itu sejarahnya dan kehendak pelaku sejarah kemerdekaan pers yang berhasil menyederhanakan pendirian perusahaan pers dari trauma SIUPP masalah lalu.


Bahwa memang diakui, penyalahgunaan profesi wartawan dan penyalahgunaan media dengan tujuan memeras atau meneror seseorang terus terjadi di berbagai daerah.


Penulis sepakat hal itu tidak boleh terjadi dan harus dihentikan.


Kemudahan mendirikan perusahaan pers adalah hadiah yang diwariskan pejuang kemerdekaan pers, namun menjadi tanggung jawab kita sekarang ini dalam pelaksananya.


Peningkatan kualitas media harus menjadi tanggung jawab semua pihak, yakni wartawan, perusahaan pers, dan terutama organisasi pers dan Dewan Pers.


Semua wartawan pasti sepakat bahwa pemerasan dan teror terhadap siapapun menggunakan nama media dan profesi wartawan adalah perbuatan pidana dan tidak terpuji, serta melanggar kode etik jurnalistik.


Nah, persoalan lain yakni verifikasi perusahaan pers!!!


Awal mulanya tujuan verifikasi perusahaan pers adalah untuk pendataan dan peningkatan kualitas media.


Namun faktanya, implementasinya sudah bergeser menjadi dokumen persyaratan sebagai bukti legalitas perusahaan pers.


Penerapan kebutuhan verifikasi perusahaan pers bukan bertujuan untuk peningkatan kualitas media, namun lebih pada azas legalitas yang menyerupai perijinan, atau yang tidak mengantonginya akan diangap tidak layak beroperasi.


Faktanya, banyak sekali media terverifikasi DP masih terseok-seok melanjutkan operasionalnya. Bahkan hampir seluruh media di Indonesia, di luar media mainstream, hidup segan mati tak mau.


Media terverifikasi Dewan Pers sekalipun tidak menjamin kualitas dan kehidupan medianya diperjuangkan oleh Dewan Pers.


Pertanyaannya, apakah Dewan Pers menjalankan tugas “Mengembangkan Kemerdekaan Pers” dan “Meningkatkan Kehidupan Pers Nasional” atau hanya sibuk dengan membuat peraturan dan melaksanakan kegiatan rutin yang tidak bermanfaat secara langsung bagi kehidupan pers nasional ?


Kenyataannya, selama Dewan Pers dibentuk kembali pada tahun 1999, perusahaan media harus berjibaku sendiri melaksanakaan upaya meningkatkan kehidupan pers nasional.


Belanja iklan nasional yang mencapai seratus triliunan rupiah lebih setiap tahun dibiarkan saja oleh Dewan Pers untuk dinikmati hanya oleh segelintir konglomerat media.


Dewan Pers justeru sibuk membuat aturan legalisasi kerja sama media dengan pemerintah daerah dengan Surat Edarannya yang ditujukan kepada pemerintah agar kerja sama media dengan pemerintah harus media yang terverifikasi Dewan Pers.


Tidak sedikitpun menyentuh upaya belanja iklan nasional ikut dinikmati media lokal yang jumlahnya mencapai puluhah ribu.


Dewan Pers bukannya sibuk mencari solusi agar belanja iklan bisa terserap atau terdistribusi ke daerah-daerah, justru disibukan dengan menjalankan propaganda negatif terhadap media-media yang belum terverifikasi sebagai media abal-abal dan tidak layak bekerja sama dengan pemerintah.


Tak heran, Kementrian Kominfo dengan leluasanya membuat petunjuk tekhnis bagi Dinas Kominfo se Indonesia agar pemerintah daerah menetapkan salah satu persyaratan kerja sama dengan media wajib perusahaannya terverifikasi Dewan Pers.


Kondisi ini sesungguhnya memalukan dan merusak fungsi sosial kontrol pers terhadap pemerintah.


Dewan Pers dan Kemenkominfo telah dengan sadar dan terang benderang melegalkan media ‘menjual’ idealismenya dengan menetapkan kebijakan yang dianggap sah melalui keberlakuan Peraturan Dewan Pers Nomor 03/Peraturan-DP/X/2019 tentang Standar Perusahaan Pers dalam persyaratan kerja sama media dengan Pemerintah.


Ironis, Tapi ini fakta bukan hoax.


Media lokal terjebak dalam kondisi ini karena tawaran belanja iklan tidak ada. Tidak ada pilihan lain selain “maaf” menjual idealisme pers dengan mengikat kontrak kerja sama dengan pemerintah demi melanjutkan operasional media.


Dewan Pers seharusnya wajib menjaga independensi media dan wartawan agar tidak terkontaminasi kepentingan pemerintah.


Caranya dengan memperjuangkan sumber pemasukan media dari belanja iklan nasional terdsitribusi ke seluruh daerah.


Pada kenyataannya lebih dari 100 triliun rupiah belanja iklan nasional setiap tahun tidak ikut dinikmari media lokal dan hanya dikuasai oleh segelintir konglomerat media yang jumlahnya tidak lebih dari sepuluh jari tangan manusia.


Pada poin ke 5 penguatan peran Dewan Pers , salah satunya diatur tentang standar gaji wartawan dan karyawan pers.


Sayangnya, sampai sekarang tidak ada penetapannya dari Dewan Pers berapa standar gaji yang benar dan layak bagi wartawan.


Wartawan media mainstream sekalipun terbukti digaji pas-pasan tapi Dewan Pers tidak melakukan apa-apa.


Padahal di dalam Pasal 9 UU Pers mengatur kewajiban perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya.


Pada prakteknya, masih ada wartawan yang bekerja di media nasional yang penggajiannya berdasarkan jumlah berita yang naik tayang di medianya. Dan fakta umum yang terjadi adalah hampir sebagian besar media lokal tidak menggaji wartawannya.


Apakah ada upaya Dewan Pers mengatasi persoalan-persoalan di atas sebagai langkah mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional ?


Inilah fakta-fakta sesungguhnya bahwa Dewan Pers telah gagal meralisasikan mandat dan amanat serta fungsi yang diberikan oleh ke 29 Organisasi Pers pada tahun 2006 lalu untuk penguatan peran Dewan Pers.


Bisa saja seluruh organisasi pers yang berbadan hukum di Indonesia, baik yang menjadi pelaku pemberi mandat penguatan kepada Dewan Pers, maupun organisasi pers yang ada sekarang dan berbadan hukum, mencabut mandat Penguatan Terhadap Peran Dewan Pers. Namun solusinya bukan seperti itu.


Sebagai wartawan yang memiliki pengalaman dari tingkat paling bawah yaitu reporter, penulis melihat kehidupan pers nasional tidak menuju pada peningkatan sejak Undang-Undang Pers tahun 1999 diberlakukan.


Kemerdekaan Pers Indonesia makin terpuruk. Indeks kemerdekaan pers menurut lembaga riset internasional Reporter Without Borders, bahkan pernah menempatkan Indonesia berada pada level bawah.


Media nasional nyaris tak terlihat dalam melakukan sosial kontrol sampai pada kehidapan masyarakat di level bawah.


Potret kemiskinan rakyat di berbagai daerah masih terjadi namun media seolah diam membisu.


Pemandangan warga hidup di atas gerobak dan di emperan toko, serta di kolong-kolong jembatan masih terjadi di mana-mana. Padahal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 34 berbunyi : “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.” Media mainstream hanya sibuk dengan konten berita politik pemerintahan yang itu-itu saja.


Informasi tentang pengentasan kemiskinan nyaris tak tersetuh karena tidak menarik dibaca dan ditonton. Negara kaya raya tapi masih banyak rakyat hidup di bawah garis kemiskinan. Negara abai tapi pers diam saja.


Fakir miskin dan anak-anak terlantar belum seluruhnya dipelihara oleh negara.


Pola pengentasan masalah di negara ini pun bak pemadam kebakaran. Ketika ramai diberitakan media, barulah pemerintah turun tangan menangani masalahnya.


Presiden Joko Widodo seolah bekerja sendirian dalam mengatasi persoalan di masyarakat.


Media tidak memberi informasi yang konkrit di level paling bawah agar penguasa jadi tahu penyelesaiannya di level atas.


Padahal rakyat kecil paling butuh nasibnya diekspos agar dilirik pemerintah dan pemangku kepentingan.


Kembali pada persoalan sertifikasi kompetensi yang informasinya bergulir hangat dua hari terakhir ini. Muncul tangapan dan reaksi Dewan Pers, yang bagi penulis sesungguhnya itu menjadi harapan baru bagi masa depan kompetensi wartawan nasional.


Intinya Dewan Pers sudah sepakat pelaksanaan sertifikasi kompetensi diletakan pada jalur yang benar yakni melalui Badan Nasional Sertifikasi Profesi.


Ada hal yang menarik disimak dari klarifikasi Ketua Dewan Pers Muh. Nuh bahwa pengajuan lisensi LSP ke BNSP harus ada rekomendasi dari Dewan Pers.


Di satu sisi informasi ini merupakan angin segar bagi pers tanah air bahwa Ketua Dewan Pers Moh. Nuh sudah mengakui bahwa pelaksanaan Sertifikasi Kompetensi wajib melalui LSP berlisensi BNSP dan memperoleh Rekomendasi dari Dewan Pers.


Keterangan itu pun harus diuji beradasarkan peraturan Badan Nasional Sertifikasi Profesi menyangkut syarat pendirian LSP dan konfirmasi langsung ke Ketua BNSP.


Sampai hari ini belum ada pernyataan resmi yang dikeluarkan oleh Ketua BNSP kepada publik terkait persyaratan LSP di bidang pers.


Dari sistem sertifikasi kompetensi nasional yang berlaku selama ini mengacu pada PP Nomor 10 Tahun 2018 tentang BNSP. Jadi aturan dan perangkat hukumnya jelas.


Apapun keputusan pemerintah wajib hukumnya bagi semua LSP termasuk LSP Pers Indonesia mentaatinya.


Dewan Pers sebagai lembaga independen sebaiknya legowo menerima masukan dan terbuka menerima kenyataan jika melakukan kekeliruan. Tidak perlu marah atau malu.


Kelompok pers yang dilabeli abal-abal pun selama ini tetap menjalankan aktifitas meski dipotret abal-abal.


Nah jika sekarang label abal-abal itu berusaha dilepas, maka kepentingan Dewan Pers sebagai lembaga independen yang didirkan untuk tujuan mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional harusnya berterima kasih bukannya kebakaran jenggot.


Tujuan utama dari pendirian LSP Pers Indonesia adalah untuk meletakan pelaksanaan sertifikasi kompetensi wartawan pada jalur yang benar agar tidak melanggar undang-undang dan berpotensi dipidana.


Publik akan menilai kenegarawan seorang Muhammad Nuh pada persoalan ini. Situasi ini menjadi ujian bagi Muh Nuh dan para anggota Dewan Pers, apakah kompeten sebagai Anggota Dewan Pers atau tidak.


Jika ada kelompok yang selama ini dituding abal-abal dan kemudian membuktikan bahwa apa yang dituduhkan selama ini tidak benar dan justeru membuka mata semua pihak yang selama ini mempraktekan sesuatu yang bertentangan dengan Undang-Undang dan melangar hukum, perlukah dilawan dengan cara-cara yang melanggar kode etik jurnalistik ?


Pada prinsipnya penulis pernah melewati menjadi reporter yang gajinya pas-pasan, sampai berada pada posisi tertinggi di keredaksian yakni pimpinan redaksi di sebuah harian lokal dan televisi lokal.


Lahir dan besar dari keluarga wartawan, menjadi kebanggaan tersendiri.


Penulis membuat gerakan kemerdekaan pers di Jakarta bersama sejumlah pimpinan organisasi pers, kemudian membentuk Dewan Pers Indonesia sebagai wujud implementasi upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan peningkatan kehidupan pers nasional.


Dewan Pers Indonesia berusaha mengisi kekosongan yang ada dengan membentuk Dewan Pers Indonesia Perwakilan Provinsi dengan tujuan agar semua pengaduan masyarakat terkait sengketa pers bisa dilayani di tingkat daerah namun masih terganjal aturan dan sistem.


Selanjutnya, pendataan media terhadap perusahaan pers yang dilakukan Dewan Pers Indonesia bertujuan untuk mempermudah warga negara Indonesia mendirikan media.


Untuk meningkatkan kehidupan pers nasional atau peningkatan kesejahteraan pers, Dewan Pers Indonesia berusaha menyusun Draft APBD tentang belanja iklan nasional agar terdistribusi hingga ke daerah-daerah.


Dan dengan cara ini media lokal akan sejahtera dan kerja sama media dengan pemerintah daerah tidak perlu lagi dilakukan demi menjaga indpendensi pers.


Jika perusahaan pers bisa mendapatkan porsi belanja iklan maka diyakini wartawan makin sejahtera dan independen.


Sumatera Utara menjadi target pertama pembahsan ranperda belanja iklan ini karena Ketua DPRD dan pemeritah setempat memahami potensi ini.


Pilihan dan upaya ini yang sedang dilakukan DPI karena Dewan Pers tidak mampu menjalankan peran itu.


Bicara kemerdekaan pers jika tidak dibarengi dengan upaya menciptakan pendapatan perusahaan maka semua pasti akan sia-sia.


Income perusahaan media sudah pasti sebagian besar diperoleh dari jasa menyediakan sarana promosi produk melalui iklan di media.

Hal inilah yang harus diperjuangkan..

Bukannya DP sibuk urusin kerja sama pemerintah dengan media yang nilainya sangat kecil sekali dan idealisme pers jadi taruhan


Dampak rendahnya kesejahteraan wartawan dari segi kompetensi, misalnya wartawan dengan modal 3 buah sertifikat kompetensi sekalipun jika tidak sejahtera, maka pada gilirannya akan ikut menerima amplop saat menjalankan profesinya.


Jika kompetensi seseorang turut dipengaruhi tingkat kesejahteraan maka tidak bisa tidak, upaya tersebut harus diperjuangkan.


Apalah arti semua wartawan di UKW jika tidak dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan atau kemampuan finasial media dan wartawan, maka ukuran kompetensi wartawannya menjadi tidak berkompeten.


Fakta ril di lapangan ada ratusan wartawan, dan mungkin ada ribuan, yang bersertifikat UKW tapi tidak menerima gaji dari media tempatnya bekerja.


Dewan Pers harus mampu menjelskan ke publik tentang jaminan kompetensinya apakah bisa terlaksana di lapangan jika kondisi kesejahteraan wartawan dan media masih seperti ini.


Narasumber : Heintje Mandagie

Jurnalis Dalam Menjalankan Profesinya Tidak Dapat Di Pidana

 


Oleh :

Muh Yusuf.SE.,SH.,MH.,C.MJ.,C.PW.,C.LSc

Bidang Pembelaan Hukum Jaringan Jurnalis Independen (JJI)


SEMARANG - Trankonmasi.com

Bahwa Profesi Jurnalis adalah Profesi yang Mulia, di mana tugas utamanya adalah secara teratur melaksanakan kegiatan Jurnalistik yaitu Meliput, Mencari, memperoleh, Memiliki, Menyimpan, Mengolah dan Mentampaikan Informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang ada.


Selain tugas Jurnalis yang Mulia tersebut, lebih jauh lagi  peran PERS di era masyarakat yang serba digital,  serba cepat, kritis dan majemuk ini menuntut peran PERS juga sebagai Kontrol Sosial, dimana PERS dapat berperan sebagai berikut :

1. Kontrol masyarakat terhadap Tindakan Tindakan Pemerintah

2. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar

3. Memperjuangkan keadilan dan kebenarandengan menjunjung kode etik Jurnalistik

4. Memuat tulisan tulisan yang mengandung pengetahuan sehingga masyarakat bertambah pengetahuan atau wawasan

5. Melakukan pengawasan, kritik,koreksi dan saran terhadap hal hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.


Bahwa dimana Tugas Mulia profesi Jurnalis dan peran PERS yang begitu besar dalam memberikan informasi baik informasi yang datangnya dari pemerintah untuk masyarakat ataupun sebaliknya untuk itu Negara memandang perlu untuk memberikan Kepastian hukum serta Perlindungan hukum Bagi profesi Jurnalis dan juga Pers itu sendiri.


Bahwa bentuk Negara dalam memberikan perlindungan hukum bagi profesi Jurnalis dalam menjalankan profesinya yaitu di sahkannya undang undang NO. 40 Tahun 1999 Tentang PERS dan Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia  dimana di dalam Pasal 8 UU PERS secara tegas dinyatakan bahwa dalam melaksanakan profesinya Jurnalis mendapatkan Perlindungan Hukum, Sepanjang seorang Jurnalis tersebut menjalankan tugasnya berdasarkan UU PERS, Kode Etik Jurnalistik dan peraturan peraturan turunannya, maka terhadap Jurnalis tersebut tidak dapat di PIDANA.

Namun  jangan di maknai profesi Jurnalis mempunyai imun yang kebal terhadap hukum, seseorang yang berprofesi sebagai Jurnalis juga harus tunduk dan patuh terhadap hukum, Meskipun Dalam memberikan Kepastian dan Perlindungan hukum terhadap Profesi Jurnalis UU PERS telah mengamanatkan bahwa Wartawan Tidak dapat Di Pidana.


Untuk dapat mengetahui seorang Jurnalis/Pers melakukan kesalahan ataupun tidak maka indikator pengukuranya adalah dengan menggunakan  UU PERS dan Kode Etik Jurnalistik, dan jika di ketahui seorang Jurnalis/Pers tersebut melakukan kesalahan yang memang kesalahannya tidak di atur dalam UU PERS dan kode Etik Jurnlistik barulah Jurnalis/Pers tersebut  dapat di kenakan  sangsi/denda melalui mekanisme Gugatan Perdata di Pengadilan Negeri


Dan penting untuk penulis pertegas bahwa apabila dalam menjalankan profesinya ternyata seorang Jurnalis tersebut tidak memenuhi syarat  sebagai Jurnalis sebagaiamana yang telah di atur dan ditetapkan, Terlebih  berada di luar wilayah Pers, maka perbuatan tersebut bukanlah perbuatan sebagaimana di maksut UU PERS dan Kode Etik Jurnalistik oleh karenanya Tindakan tersebut tidak mendapat perlindungan  UU PERS namun Tindakan tersebut masuk dalam katagori Pidana murni oleh karenanya dapat di jerat dengan KUHP.


Contoh :

Perbuatan Penipuan, Penggelapan dan atau Pemerasan ataupun perbuatan perbuatan lain yang bertentangangan dengan KUHP baik yang di lakukan oleh oknum Jurnalis ataupun siapa saja yang mengaku sebagai jurnalis maka atas perbuatan tersebut  merupakan tindak pidana yang dapat di kenakan pasal pasal sebagaimana di maksut dalam KUHP


Sebagai salah satu unsur Penegak Hukum dan juga sebagai insan Pers tentunya Penulis berpandangan dan senantiasa menkampanyekan dalam rangka memberikan jaminan perlindungan hukum bagi Para Jurnalis yang sedang menjalankan tugas Jurnalistik di pandang perlu dan Penting UU No 40 Tahun 1999 tentang PERS di tetapkan sebagai UU khusus atau lex Specialis Derogate legi Generali, adalah salah satu penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (Lek specialist) mengkesampingkan hukum yang bersifat umum.


Dengan di nyatakannya UU No.  40  Tahun 1999 sebagai UU Lek Spesialist maka setiap perkara yang berkaitan dengan Pers dasar hukum yang adalah UU PERS dan bukan UU yang lain.


(******)


Penulis adalah :

Ketua Bidang Hukum : JJI (Jaringan Jurnalis  Independen),  PWO Jepara (Persatuan wartawan online), DPC PWRI Jepara (Persatua wartawan Republik Indonesia), ALMI Jepara (Aliansi Lintas Media Indonesia), Ketua Bidang Hukum di 12 Media Online Nasional, Kepala Law Office M Yusuf & Partners, Direktur LKBH Jepara (Lembaga Konsultasi dan bantuan Hukum), Ketua YPK BK (Yayasan Perlindungan Konsumen Bumi Kartini), Wakil Ketua PC LPBH NU (Lembaga Penyuluhan dan bantuan Hukum Nahdlotul ulama), Wakil Ketua APINDO Jepara (Asosiasi Pengusaha Indonesia) , Owner Yus Education Institute, Penyandang 9 Gelar dengan disiplin ilmu yang berbeda diantaranya : C.MJ (Certivicate Muslim Jurnalis), C.PW (Certivicate Profional  Writer)


Berprofesi Sebagai :

Advokat, Mediator Non Hakim, Jurnalis, Writer, Master Traniner Of AR Learning Center Jogjakarta, Master Trainer Of Yus Education Institute

Tedjo Edhi Purdijatno: Konsep Presisi Kapolri Nyata Dirasakan Masyarakat

 


Jakarta - Trankonmasi.com

Ketua Pembina dan Pendiri Law Firm Dhipa Adista Justicia Laksamana TNI (Purn) Tedjo Edhi Purdijatno. SH., mengapresiasi konsep Presisi (Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi) yang diterapkan Kapolri Jend Pol Listyo Sigit Prabowo. 


Menurut Tedjo Edhi, Polri Presisi saat ini betul-betul dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, dan bukan sekedar slogan pencitraan. 


"Harapan masyarakat tentunya pencapaian ini harus dilanjutkan ditahap-tahap berikutnya. Harapanya hanya kuantitas capaian program yang bisa dilaksanakan, namun kualitas dari program yang ada utamanya rekan-rekan telah buat inovasi, maka bagaimana kemudian inovasi bisa betul-betul dimanfaatkan dan dirasakan oleh masyarakat," ungkap Tedjo Edhi Purdijatno, SH., dalam keterangan persnya, Sabtu (19/2) 


Eks Menko Polhukam dalam Kabinet Indonesia Jilid II itu menilai, Kapolri saat ini tidak pernah ragu menindak tegas baik itu Kapolda, Kapolres hingga Kapolsek apabila tidak mampu menjadi teladan bagi jajaranya. 


"Sangatlah bagus. Semua Kepala Satuan wilayah harus melakukan ketegasan serupa untuk mengontrol bawahannya, agar sesuai dengan visi Presisi Kapolri," kata Tedjo Edhi Purdijatno. 


Pernyataan senada disampaikan oleh Ketua Umum Dhipa Adista Justicia  Inspektur Jenderal Polisi (Purn) Wisjnu Amat Sastro, S. H., MH dalam menanggapi visi Presisi Kapolri. 


"Bapak Kapolri sangat luar biasa dalam menjaga dan memperbaiki nama baik instansi Polri. Dapat dilihat dari banyaknya perkara yang sudah sering Dhipa Adista Justicia lakukan dalam memberikan bantuan hukum kepada masyarakat untuk melakukan laporan maupun aduan kepada propam Mabes Polri," ungkap Irjen Pol (Purn) Drs. Wisjnu Amat Sastro. 


Kapolda Metrojaya, Irjen Pol Drs Mohammad Fadil Imran menurut Wisjnu Amat Sastro juga telah melaksanakan visi Presisi yang digaungkan oleh Kapolri. Hal itu diungkap nya dari banyaknya masyarakat DKI Jakarta yang telah nerasakannya. 


"Mudah-mudahan Presisi yang telah dijalankan oleh Kapolda Metro Jaya, Drs Mohammad Fadil Imran dapat menjadi contoh bagi Kapolda, Kapolres, dan Kapolsek di wilayah lainnya," pungkasnya. (J Trankonmasi Tim)

Survei Litbang Kompas: Mayoritas Responden Setuju Restorative Justice

 


lpktrankonmasi.com

Litbang Kompas mengeluarkan survei berkaitan penerapan keadilan restoratif atau restorative justice. Hasilnya mayoritas responden setuju keadilan restoratif diterapkan dalam kasus pidana ringan.

Survei Litbang Kompas dilakukan pada tanggal 10-13 Februari 2022 via telepon terhadap 317 responden berusia minimal 17 tahun dari 34 provinsi. Sampel disebut ditentukan secara acak dari responden panel Litbang Kompas sesuai proporsi jumlah penduduk di tiap provinsi. Tingkat kepercayaan survei dengan metode ini disebut mencapai 95 persen, nirpencuplikan penelitian +- 5,5 persen dalam kondisi penarikan sampel acak sederhana. Litbang Kompas menegaskan kesalahan di luar pencuplikan sampel dimungkinkan terjadi. 


Berdasarkan data Litbang Kompas yang dikutip Senin (14/2/2022), ada beberapa pertanyaan berkaitan restorative justice penegak hukum. Mayoritas responden setuju restorative justice diterapkan pada pidana ringan. Selain itu, responden Litbang Kompas juga setuju restorative justice diterapkan dalam kasus pencurian ringan yang ancaman hukuman maksimal 3 bulan bui. 


Meski demikian, ada kasus yang mayoritas responden menolak penerapan restorative justice. Selain itu, Litbang Kompas juga merangkum masukan dan pendapat responden mereka terhadap restorative justice. 


Untuk diketahui, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo selaku orang nomor satu di Kepolisian RI telah meneken Peraturan Kapolri No. 8/2021 tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif. Sementara itu di Kejaksaan telah diterbitkan Peraturan Kejaksaan RI No. 15/2020 tentang penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif. Berikut ini hasil survei Litbang Kompas. 


Powered by AdSparc

1. Setuju atau tidakkah Anda dengan langkah penegak hukum yang akan lebih menerapkan mediasi dan kesepakatan damai dalam penyelesaian masalah jenis pidana ringan?

- Setuju: 73,4%

- Sangat setuju: 9,6%

- Tidak setuju: 14,2%

- Sangat tidak setuju: 0,3%

- Tidak tahu: 2,5% 


2. Setuju atau tidakkah Anda proses kesepakatan damai (keadilan restoratif) diberlakukan dalam kasus pidana seperti pencurian ringan (ancaman hukuman maksimal 3 bulan penjara)?

- Setuju: 65,9%

- Sangat setuju: 4,8%%

- Tidak setuju: 27,9%

- Sangat tidak setuju: 0,8%

- Tidak tahu: 0,6% 


3. Setuju atau tidakkah Anda proses kesepakatan damai (keadilan restoratif) diberlakukan dalam kasus pidana seperti penipuan ringan dilakukan pedagang (ancaman hukuman maksimal 3 bulan penjara)?

- Setuju: 44,6%

- Sangat setuju: 1,3%

- Tidak setuju: 48,9%

- Sangat tidak setuju: 3,8%

- Tidak tahu: 1,4% 


4. Khawatir atau tidakkah Anda jika proses penyelesaian kasus pidana dengan cara keadilan restoratif disalahgunakan sebagian masyarakat pelaku tindak pidana ringan?

- 76,3%: Khawatir, karena orang Indonesia sering pragmatis, cari mudahnya saja

- 21,4%: Tidak khawatir, karena sudah ada rambu-rambu aturannya dan tetap bisa diterapkan pidana

2,3%: Tidak tahu 


5. Yakin atau tidakkah Anda proses keadilan restoratif yang diterapkan hanya untuk kasus-kasus pidana kecil/ringan ini akan memberikan manfaat keadilan bagi masyarakat?

- Yakin: 50,5%

- Sangat yakin: 6,5%

- Tidak yakin: 40,3%

- Sangat tidak yakin: 1,2%

- Tidak tahu: 1,5% 


6. Apa harapan terbesar Anda terhadap kebijakan keadilan restoratif (mediasi dan kesepakatan damai pelaku dan korban) yang diterapkan oleh lembaga penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan)?

- 42,0%: Evaluasi dan perbaikan dilakukan berkala

- 26,7%: Pengawasan proses keadilan restoratif diperketat

- 14,4%: Prioritas penerapan proses kepada masyarakat kecil

- 11,0%: Dapat terus dilanjutkan, hanya pada pidana ringan/kejahatan kecil

- 5,9%: Tidak tahu

Cembokur’ Bertopeng Politis di Isu Investasi Gibran dan Kaesang

 


Oleh : Hence Mandagi / Ketua Dewan Pers Indonesia

lpktrankonmasi.com

Akhir-akhir ini jagad maya dibanjiri berita pelaporan dugaan korupsi terhadap dua anak Presiden Republik Indonesia Joko Widodo  yakni Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep yang dianggap politis. Kedua pemuda yang tengah bersinar ini menjadi sorotan publik ketika sang dosen Universitas Negeri Jakarta Ubedillah Badrun melaporkan keduanya terkait dugaan korupsi ke Komisi Pemberantasan Korupsi pada Senin (10/1/2022) lalu.


Laporan tersebut menurut keterangan Ubedillah kepada wartawan di KPK terkait dugaan tindak pidana korupsi dan atau tindak pidana pencucian uang berkaitan dengan bisnis start up milik Gibran dan Kaesang terkait dengan investasi yang berasal dari pelaku pembakaran hutan.


Kasus ini sontak mengundang beragam reaksi publik di media sosial. Bisnis es doger dan kuliner yang digeluti kedua anak presiden  ini diobok-obok pembenci dan banjir komentar miring di berbagai media social.


Namun tak sedikit pula pengagum kedua sosok muda ini ikut membanjiri kolom komentar dengan beragam tanggapan positif atas pencapaian dan bisnis yang dijalankan Gibran dan Kaesang. Sehingga isu korupsi ini dianggap berbau politis.


Bahkan ada relawan Jokowi Mania justeru ikut melaporkan balik dosen UNJ Ubedillah ke polisi untuk membela anak presiden yang menjadi terlapor di KPK.


Menariknya, sang tertuduh Gibran dan Kaesang justeru gak mau ribut dan ambil pusing. Santai dan tenang tergambar dari wajah Gibran di beberapa chanel Yuotube, saat menanggapi laporan terhadapnya di KPK.


Berbagai media mainstream juga turut memberitakan kasus ini. Bahkan ulasan dan penelusuran rekam jejak bisnis Gibran dan Kaesang pun makin ramai dan transparan diberitakan di jejaring media online atau media daring.


Rasa penasaran publik tertuju pada bisnis kedua anak presiden ini.


Bisnis startup minuman tradisional Indonesia dengan label Goola milik Gibran pada 2019 mendapat suntikan dana sebesar USD 5 juta atau sekitar Rp 71 miliar dari Alpha JWC Ventures.


Alpha JWC Ventures juga menyuntik dana ke startup Mangkokku yang didirikan Gibran bersama Kaesang Pangarep, Arnold Purnomo, dan Randy Kartadinata sebesar USD 2 juta atau setara dengan Rp 29 miliar pada November 2020.


Rupanya perusahaan modal ventura ini tidak hanya menyuntik dana di usaha Gibran dan Kaesang namun sudah menyuntikkan dana ke 43 startup di Asia Tenggara pada 2016 senilai USD 50 juta yang sebagian besar dilakukan di Indonesia.


Media Kumparan menyebutkan, dalam portofolionya, Alpha JWC Ventures telah berinvestasi ke sejumlah startup ternama seperti Kopi Kenangan, Ajaib, Lemonilo, Bobobox, Kredivo, TaniFund, hingga Zenius. Total ada 57 perusahaan dalam portofolio Alpha JWC Ventures. Aset yang dikelola mencapai USD 630 juta.


Ivestasi terhadap bisnis stratup yang serupa dengan binis Gibran dan Kaesang tak kalah menghebokan ketika Kopi Kenangan naik peringkat menjadi Unicorn baru setelah menerima suntikan dana senilai 1,3 triliun rupiah.


Pendanaan Seri C terhadap Kopi Kenangan ini dipimpin oleh Tybourne Capital Management, dan diikuti sejumlah investor dari seri sebelumnya, seperti Horizons Ventures, Kunlun dan B Capital, serta investor baru yaitu Falcon Edge Capital.


Tidak ada yang berlebihan dengan nilai investasi besar di bisnis ini jika melihat nilai investasi yang disuntikan pemodal terhadap perusahaan New Retail F&B (makanan dan minuman) di Indonesia.


Beragam komentar miring dari politisi yang gak paham bisnis startup perusahaan New Retail F&B ini menjadi bola liar ketika digulir ke publik.


Namun bagi pemodal justeru berbanding terbalik. Tidak ada keraguan menggelontorkan dana puluhan miliar ke bisnis stratup milik kedua anak presiden. Jaminan kepastian balik modal bisa jadi karena pertimbangan kemudahan akses berusaha bagi kedua anak muda ini disokong Chef kenamaan Arnold.


Modal kepercayaan publik yang dimiliki Gibran pasca terpilih menjadi Walikota Solo pun makin meyakinkan pemodal untuk berinvestasi tanpa ragu.


Politisi dan pengamat hukum mestinya bangga dan mensuport kedua anak presiden ini. Sejatinya sangat muda bagi kedua anak presiden ini menjadi makelar proyek triliunan rupiah di berbagai kementrian. Bahkan calo jabatan sekalipun mudah bagi keduanya.


Tapi dua anak muda sederhana ini tidak memilih kedua profesi haram tersebut. Mereka lebih tertarik berbisnis kuliner dan usaha halal lainnya yang justeru bagi sebagian orang cukup sulit dilakoni.


Gibran dan Kaesang tidak memilih jalan pintas dan red carpet di bisnis proyek dan jual beli jabatan, sebagaimana lazimnya dilakukan anak dan pejabat korup di daerah yang sering diOTT KPK.


Faktanya, kucuran modal puluhan miliar itu ternyata beranak pinak melalui usaha Goola milik Gibran yang sudah bisa ditemui di berbagai mall di Indonesia.


Tak cuma itu, ada banyak usaha lainnya yang digeluti Gibran dan Kaesang yang tidak banyak diketahui publik. Namun akhir-akhir ini justeru kian terbuka lebar dan transparan dipublikasi media mainstream.


Penggiat medsos bisa berselancar di internet dengan mudahnya mengakses informasi terkait bisnis Gibran dan Kaesang.


Sebagai wartawan, penulis memiliki tanggungjawab untuk melakukan kontrol sosial terhadap isu yang berkembang terkait kewibawaan simbol negara  yang terus diobok-obok menjelang Pemilu dan Pilpres 2024.


UUD 1945 juga mengatur hak azasi setiap warga negara yang dilindungi untuk memiliki hak yang sama berusaha dan meningkatkan kehidupan masing-masing.


KPK juga dapat bekerja secara professional melayani setiap laporan masyarakat terkait perkara korupsi.


Namun, jika laporan yang tidak disertai bukti pelanggaran hukum yang dilakukan perusahaan Alpha JWC Ventures selaku penyuntik dana investasi, KPK harus terbuka juga ke publik.


Sedangkan perusahaan Gibran dan Kaesang yang menerima dana investasi itu, jika ternyata terbukti menerima dana karena bisnis legal maka KPK harus berani mengungkapnya ke publik agar tidak menjadi bola liar dan dimanfaatkan oleh politisi dan lawan politik Presiden Joko Widodo.


Siapapun di negeri ini berhak berusaha. Gibran dan Kaesang juga berhak berbisnis secara legal.


Bisnis legal kedua anak presiden ini perlu didukung karena masih pada batas kewajaran dan masuk akal. Selaku anak presiden tentu banyak kemudahan yang bisa diperoleh.


Yang merasa cemburu atau ‘Cembokur’ (bahasa anak muda) anak presiden bisa sukses berbisnis seharusnya makin termotivasi untuk berusaha sekuat tenaga dan pikiran agar mampu menjadi Presiden RI di 2024. Agar anak-anaknya bisa meraih sukses yang sama seperti Gibran dan Kaesang. (Trankonmasi Tim)

Kuburan “Roh” Kemerdekaan Pers di Tengah Uji Materi UU Pers



Oleh : Heintje Mandagi / Ketua Dewan Pers Indonesia


Magelang, lpktrankonmasi.com


Baru-baru ini ‘Kuburan’ Kemerdekaan Pers kembali terisi ‘jasad’ karya jurnalistik. Kali ini ‘batu nisan’ kemerdekaan pers  itu bertuliskan nama Muhammad Asrul, wartawan media online Berita.News yang divonis bersalah dengan hukuman pidana 3 bulan penjara akibat karya jurnlistik. ‘Roh’ kebebasan pers milik Asrul ini pada akhirnya menyatu dengan jasad Udin wartawan Bernas dan Muhammad Yusuf wartawan Kemajuan Rakyat. 


‘Kuburan’ kemerdekaan pers milik Torozidu Lahia, wartawan Harian Berantas yang belum juga kering, kini sudah terisi lagi ‘jasad’ kemerdekaan pers milik Asrul. Kasus kriminalisasi pers yang dialami keduanya itu seolah –olah menyatu dengan ratusan ‘Roh’ kebebasan pers milik wartawan di berbagai penjuru tanah air yang terkubur di ‘pekuburan’ umum Kemerdekaan Pers Indonesia yang dibangun penguasa tunggal bernama Dewan Pers. 


Berkaca dari kasus Torozidu Lahia, wartawan Harian Berantas yang memberitakan kasus korupsi Bupati Bengkalis, justeru dihadiahi PPR Dewan Pers yang menyatakan media Harian Berantas tidak terverifikasi Dewan Pers dan Torozidu belum mengikuti Uji Kompetensi Wartawan. Dan dengan entengnya Dewan Pers merekomendasi penyelesaian perkara tersebut dapat dilakukan di luar Undang-Undang Pers. 


Ujung-ujungnya Torozidu dipejara, meskipun kemudian dinyatakan bebas murni. Namun sang Bupati Bengkalis akhirnya terbukti korupsi dan ditangkap KPK, serta divonis bersalah dan dihukum penjara sesuai perbuatannya sebagaimana apa yang pernah ditulis Torozidu di Harian Berantas. Ini bukti tulisan berita Torozidu benar tapi diganjar PPR Dewan Pers melanggar kode etik. 


Di penghujung 2018 lalu, almarhum Muhamad Yusuf, wartawan Kemajuan Rakyat dan Sinar Pagi Baru pun mengalami nasib yang sama diproses hukum pidana di luar UU Pers setelah PPR Dewan Pers diterbitkan. Yusuf tewas dalam tahanan. Meregang nyawa dalam status sebagai tersangka akibat karya jurnalistiknya. Kasus serupa juga dialami ratusan wartawan di berbagai daerah.


Kasus di atas memang berbeda dengan apa yang dialami Muhammad Asrul. Dewan Pers melakukan pembelaan dan menyatakan kasus Asrul harus diproses menggunakan UU Pers. Namun, polisi dan jaksa tetap meneruskan kasus tersebut hingga ke pengadilan. Dewan Pers pun menghadirkan saksi ahli. Namun majelis hakim tetap memvonis Asrul bersalah dan dipidana 3 bulan penjara. 


Lantas apa yang dilakukan Dewan Pers pasca putusan vonis Asrul tersebut adalah membuat surat pernyataan keprihatinannya. Tidak ada langkah luar biasa untuk mengatasi persoalan serius terkuburnya kemerdekaan pers ini. Isi surat pernyataan Dewan Pers terkait kasus Asrul tidak ada menyebutkan perjuangan organisasi pers tempat Asrul bernaung. Seakan-akan semua hanya mengenai Dewan Pers. Polisi, jaksa, dan hakim yang terlibat perkara Asrul ini seharusnya dilaporkan ke lembaganya masing-masing untuk diberi sanksi karena tidak profesional menangani perkara pers. 


Faktanya juga, organisasi pers tidak hadir di kasus Asrul. Padahal sebagai wartawan, Asrul wajib dilindungi oleh organisasi pers tempat dia bernaung. Hal itu karena organisasi pers tidak diberi ruang sedikitpun untuk mendampingi atau membela kepentingan Asrul di Dewan Pers. 


Ketika Asrul dilaporkan, Organisasi Pers tidak hadir. Dewan Pers yang maju sebagai pahlawan. Tapi sayangnya rekomendasi  Dewan Pers terlalu ‘banci’ dan maaf ‘abal-abal’ alias tak berkualitas. UU Pers sudah jelas Lex Specialis. Jadi, ketika wartawan dilaporkan, harus ada tindakan tegas memita kepolisian menghentikan penyidikan dan melimpahkan penanganan perkara pers ke Dewan Pers. 


Sebagaimana  lazimnya penanganan perkara dilimpahkan ke tingkatan yang sesuai dengan lokasi kejadian. Hal itu pun seharusnya berlaku di perkara pers. Karena kewenangan itu ada di Dewan Pers untuk menyelesaikan perkara pers, maka pihak kepolisian wajib melimpahkan berkas perkara ke Dewan Pers. 


Apapun alasan kepolsian untuk menerima aduan perkara pers dibalut UU ITE harus dihormati tapi perlu dikritisi. Karena Pers memiliki UU Pers yang melindungi kemerdekaan pers sebagai wujud perlindungan hakiki terhadap hak asazi manusia yang diakui dunia internasional. Tak heran Indonesia selalu berada di urutan menengah ke bawah dalam hal kebebasan pers internasional. 



Jika sekelas Dewan Pers tunduk kepada Kepolisian, padahal penanganan perkara pers adalah kewenangannya, maka apa gunanya Dewan Pers hadir sebagai lembaga independen jika tidak mampu bersikap menjalankan amanah UU Pers. 


MOU Dewan Pers dengan Polri sesungguhnya adalah bentuk pelecehan terhadap UU Pers. Pers seolah mengemis perlindungan hukum kepada polisi yang jelas-jelas hal itu adalah kewajiban Polri memberi jaminan perlindungan hukum kepada setiap warga negara. 


Organisasi pers yang menjadi induk pembinaan dan perlindungan pers sudah dirampas haknya oleh supremasi Dewan Pers. Setiap kasus perkara pers, tidak ada organisasi pers yang dihadirkan untuk melakukan pembelaan dan pembinaan, atau bahkan melewati tahapan sidang majelis kode etik di masing-masing organisasi pers sebagai wadah tempat wartawan bernaung dan berlindung. 


Mediator ‘abal-abal’ yang dihadirkan Dewan Pers dalam menangani aduan pers pun hampir seluruhnya tidak bersertifikat resmi sebagai mediator. Padahal setiap mediator harus bersertifikat dan disahkan Pengadilan. Akibatnya, wartawan yang menjadi pihak teradu selalu berada pada posisi lemah dalam penanganan perkara pers. 


Seharusnya penyelesaian perkara pers bukan PPR Dewan Pers yang jadi hasil akhir. Namun harus berdasarkan kesepakatan antara pengadu dan teradu. Bukan keputusan penilaian Dewan Pers. Itulah fungsi mediator dalam penanganan perkara pers agar tidak ada kriminalisasi pers. 


Dewan Pers juga, faktanya,  tidak membuka akses bagi masyarakat yang dirugikan akibat pemberitaan di seluruh Indonesia untuk menampung pengaduan. Dampaknya, warga masyarakat yang dirugikan pers terpaksa harus mengadu atau melapor ke Polisi. Dan ketika diproses pidana UU ITE dan pidana pencemaran nama baik, penyidik Polri dari seluruh Indonesia harus meminta PPR Dewan Pers di Jakarta yang anggotanya hanya berjumlah 9 orang saja. Tidak ada sikap Dewan Pers meminta pelimpahan penanganan perkara pers ke Dewan Pers agar tidak ada kriminalisasi. 


Sejatinya, pengadu dapat diberi keleluasaan untuk mendapatkan pelayanan hak jawab. Dan teradu yakni pimred media wajib menjalankan pemenuhan hak jawab teradu dan kewajiban koreksi. Peran mediator yang harus hadir di situ. Sayang sekali penyelesaian perkara ini hanya terhenti di PPR Dewan Pers. Dan kasus tetap berlanjut di kepolisian. UU Pers jadi memble atau tidak berfungsi. Peran organsiasi pers pun sama, yaitu tidak pernah diberi ruang. 


Organisasi pers sebagai wadah tempat wartawan bernaung pun tidak pernah menyelesaikan perkara pers menggunakan tahapan sidang majelis kode etik dan pemberian sanksi. Peraturan Dewan Pers tentang Kode Etik Jurnalistik menjadi tidak berlaku atau tidak berguna tanpa implementasi karena semua terpusat di Dewan Pers. Padahal yang paling paham tentang anggota wartawan pastinya adalah pimpinan organisasi pers. 


Atas kondisi di atas, sudah barang tentu kesimpulan akhir harus disematkan kepada Dewan Pers yaitu gagal total dan tidak berguna dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga independen yang ditugaskan menjamin kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional. 


Tak heran Uji Materi Undang-Undang Pers di Mahkamah Konstitusi menjadi satu-satunya jalan keluar dari kegagalan Dewan Pers. Harus ada keputusan dan penilaian objektif Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi melihat persoalan ini. 


Norma yang terkandung dalam UU Pers khususnya Pasal 15 Ayat (2) huruf f tentang fungsi Dewan Pers yang berbunyi “Memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan“ harus dimaknai menjadi : “Memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers oleh masing-masing organisasi pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan” agar tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Dan juga tidak menghilangkan  fungsi dan kewenangan organisasi pers membuat peraturan pers untuk melindungi anggota wartawan dan perusahaan pers.


Buntut uji materi di MK, muncul reaksi berlebihan dari kelompok konstituen Dewan Pers. Ada pandangan hukum yang menyebtukan, uji materi UU Pers ini adalah kesesatan pikir dari pemohon dan jika dikabulkan akan menyebakan ketidakpastian hukum dan dapat menimbulkan peraturan-peraturan pers yang bersifat terpisah, sporadis, dan justeru bertentangan dengan kemerdekaan pers. 


Dewan Pers yang tak berdaya melawan kriminalisasi pers terhadap Asrul dan bahkan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari proses kriminalisasi pers terhadap media yang belum terverifikasi dan wartawan yang belum UKW. 


Kelompok pers yang termarjinalkan juga sulit berkembang di berbagai daerah dengan stigma negatif media abal-abal dan wartawan abal-abal. Media Terverifikasi dan UKW menjadi jualan Dewan Pers untuk meraup untung dari bisnis UKW ilegal dan pengelompokan media terverifikasi. 


Segelintir pemilik media yang belum berbadan hukum dijadikan senjata pamungkas Dewan Pers untuk memotret puluhah ribu media online dengan stigma media abal-abal. Celakanya, pemerintah daerah ikut terbius dengan propaganda negatif Dewan Pers tersebut kemudian menerbitkan peraturan daerah atau peraturan kepala daerah yang mewajibkan kerja sama perusahaan pers dengan pemerintah daerah harus terverifikasi Dewan Pers.


Kendati pada prateknya, media terverifikasi Dewan Pers tidak ada jaminan memiliki jumlah pembaca organik dan banyak, serta konten beritanya berkualitas. Buktinya, baik rating media dan perolehan pendapatan iklan komersil masih jauh dari kata mencukupi biaya operasional. Wartawan yang bekerja di media terverifikasi masih begitu banyak yang tidak digaji. Dewan Pers pura-pura tutup mata dan gak tau apa-apa. 


Padahal monopoli belanja iklan oleh konglomerat media sudah berlangsung selama belasan tahun di negeri ini. Media dan pers lokal termarjinalkan tanpa solusi dari Dewan Pers. Ratusan triliun rupiah belanja iklan pertahun hanya dinikmati segelintir konglomerat media nasional. 


Lebih para lagi, pendapatan media mainstream nasional berjumlah triliunan rupiah per tahun tapi wartawannya masih jauh dari kata sejahtera. Sialnya, organisasi pers konstituen Dewan Pers hanya organisasi AJI yang konsisten berteriak sendiri soal batas minimal gaji wartawan pemula berada diangka 9 juta rupiah perbulan. 


Meski angka tersebut masih terlalu sedikit dibanding taruhan independensi wartawan tergadaikan akibat nyambi terima amplop dari nara sumber. Seharusnya, gaji wartawan level reporter yang bekerja di media nasional peraih pendapatan triliunan rupiah wajib menggaji wartawannya di angka 15 juta rupiah. 


Belum lagi peraih belanja iklan nasional itu adalah media televisi nasional yakni di angka 80 persen. Lembaga riset Media Business Nielsen Indonesia mencatat, nilai belanja iklan tahun 2020 di Indonesia sebesar Rp.229 triliun di semua tipe media yang dimonitor, yakni TV, Cetak, Radio dan Digital. Dan Nielsen menyebutkan, media TV masih menjadi ruang beriklan yang paling dominan yakni di atas 70 persen dari Rp.229 triliun belanja iklan tahun 2020 lalu. 


Berkaca dari kondisi ini, perlu dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Pasal 17 ayat (3) UU Penyiaran menyebutkan, “Lembaga Penyiaran Swasta wajib memberikan kesempatan kepada karyawan untuk memiliki saham perusahaan dan memberikan bagian laba perusahaan. 


Kemudian pada ketentuan pidana Pasal 57 huruf a. Disebutkan,” Melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3)” dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000 (satu miliar rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pidana pejara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak banyak Rp.10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah) untuk penyiaran televisi. 


Pada UU Pers juga diatur tentang kesejahteraan wartawan pada Pasal 10 yakni: “ Perusahaan Pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya. 


Nah, kedua UU tersebut di atas sudah sangat jelas mengatur tentang pemberian kesejahteraan terhadap karyawan (termasuk wartawan pada UU Penyiaran) dan kepada wartawan dan karyawan pers (pada UU Pers). 


Lantas di mana kehadiran Dewan Pers dan organisasi konstituen Dewan Pers terkait perjuangan hak-hak wartawan dan karyawan pers di media mainsream nasional. Jangankan peberian saham atau pembagian laba, wartawan di media penyiaran swasta nasional saja masih ada wartawan yang tidak digaji tapi hanya dibayar berdasarkan jumlah berita yang ditayangkan di siaran berita televisi. Koresponden atau kontributor TV nasional di daerah banyak yang mengalami nasib tidak digaji tapi hanya dibayar per berita tayang. 


Muncul pertanyaan besar, adakah Dewan Pers dan organisasi konstituen IJTI melaporkan pidana pemilik Lembaga Penyiaran Swasta Nasional yang melanggar ketentuan pidana Pasal 57 huruf a. UU Penyiaran ? Lembaga Penyiaran Swasta wajib memberikan bagian laba perusahaan dan jika melanggar kewajiban ini dapat dipidana dengan pidana pejara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak banyak Rp.10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah) untuk penyiaran televisi.


Kemudian adakah Dewan Pers sebagai lembaga yang diakui negara memperjuangkan hak-hak wartawan untuk mendapatkan kesejahteraan dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya dari pemilik perusahaan pers ?. 


Kondisi ini yang menjadi perhatian serius organisasi-organisasi pers di luar konstituen Dewan Pers untuk membentuk Dewan Pers Indonesia yang independen dalam rangka memperjuangkan hak-hak wartawan dan media tersebut yang terabaikan. 


Dewan Pers Indonesia sudah bertekad untuk memperjuangkan kepentingan perusahaan-perusahaan pers lokal agar bisa mendapatkan porsi iklan komersil. Agar tidak ada lagi media lokal ‘mengemis’ iklan kerja sama dengan pemerintah daerah. 


Dan belanja iklan nasional yang mencapai ratusan trililun rupiah itu bisa terdistribusi ke seluruh daerah di Indonesia. Ke dapan nanti tidak boleh ada monopoli perusahaan agensi iklan yang hanya menyalurkan belanja iklan kepada media-media televisi nasional. 


Dewan Pers Indonesia saat ini sedang berjuang membina puluhan media online berbasis SEO Google agar bisa meraup untung dari belanja iklan di google yang cukup besar. Di tahun 2022 ada program Dewan Pers Indonesia melalui Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pers Republik Indonesia (DPP SPRI) membina lebih banyak lagi media berstandar SEO Google.  Targetnya 1000 media online di 2022 sudah terpasang SEO Google pro. 


Dengan cara ini tidak ada lagi pemerintah bekerja sama hanya dengan media terverifikasi Dewan Pers. Karena media yang terpasang SEO Google pro pasti akan lebih berkualitas dibanding media terverifikasi Dewan Pers karena rating dan jumlah pembacanya pasti organik dan jauh lebih banyak dari media yang terverifikasi Dewan Pers. 


Jika seluruh media online lokal terdampak dengan program pemasagan SEO Gogle premium ini maka diperkirakan belanja iklan akan terbagi ke seluruh Indonesia atau tidak lagi domonopoli oleh media nasional yang berada di Jakarta saja. Karena kualtas media sudah merata di seluruh Indonesia.


Mengingat legitimasi Dewan Pers Indonesia belum juga disahkan oleh Persiden RI Joko Widodo maka sangat diharapkan permohonan uji materi UU Pers, khususnya Pasal 15 Ayat (3) bisa dikabulkan majelis hakim MK. Permohonan itu menyatakan Pasal 15 ayat (3) UU Pers bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai : “Keputusan presiden bersifat administrasi sesuai usulan atau permohonan dari organisasi-organisasi pers , perusahaan-perusahaan pers dan wartawan yang terpilih melalui mekanisme kongres yang demokratis.” 


Penulis adalah Ketua Dewan Pers Indonesia, Ketua Umum DPP SPRI, dan Ketua LSP Pers Indonesia. ***


(Trankonmasi Tim)

BUMD Jepara Mengabaikan UU Nomor 14 Tahun 2008

 


Jepara, lpktrankonmasi.com


Sabtu/10/2021 – INFORMASI mempunyai peranan penting bagi mundur atau majunya suatu bangsa. Sebuah adagium menyebutkan, siapa yang menguasai informasi maka dialah yang menguasai dunia. Dengan demikian, kebebasan memperoleh informasi yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak menjadi syarat bagi kemajuan daerah itu sendiri.

Seperti yang saat ini masih terjadi di beberapa daerah, Kabupaten Jepara pada khususnya. Tri Hutomo mengemukakan, masyarakat yang hidup di daerah kaya sumber daya alam (SDA) seringkali justru terjebak dalam kungkungan kemiskinan dan kutukan sumber daya alam karena tidak bisa mengakses informasi seputar pengelolaan SDA-nya secara seimbang. Hal ini kemudian bisa dipastikan berdampak pada rendahnya kekuatan tawar masyarakat .Padahal Pemerintah sudah menerbitkan regulasi yang menjamin hak masyarakat untuk mengakses dan memperoleh informasi yang berhubungan dengan kehidupan mereka, baik secara individu maupun komunitas. Diberlakukannya Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) menjadi penanda dimulainya era keterbukaan informasi publik di Indonesia ini.



Dalam UU KIP, badan publik diwajibkan menyediakan informasi atas berbagai kebijakan, peraturan, perjanjian, dan anggaran yang mengatur hajat hidup masyarakat banyak. Informasi dimaksud misalnya APBN/APBD dan detail turunannya, dokumen proyek, perjanjian kerja sama dengan swasta, regulasi, dan kebijakan yang dikeluarkan oleh badan publik.


Hampir sama dengan yang dipergunjingkan di Kabupaten Jepara saat ini, terkait masalah data LPJ BUMD yang sudah dimohonkan oleh suatu Lembaga Masyarakat sampai berbulan – bulan bahkan sudah melalui audensi sampai 2x termasuk di Lembaga Legislatif, tidak juga diberikan tanggapan apapun dari BUMD sebagai badan publik. Hal ini bisa menjadi indikator kemunduran suatu pemerintah daerah, karena kebebasan memperoleh informasi yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak menjadi syarat bagi kemajuan daerah itu sendiri masih belum terealisasi dengan baik.

Padahal LPJ BUMD ( Badan Usaha Milik Daerah ) sebagai Badan Publik bukanlah Informasi yang dikecualikan untuk bisa diakses bersifat ketat dan terbatas serta yang menyangkut pertahanan negara, rahasia pasien, hak paten dan informasi, yang jika dibuka bisa merugikan kemasalahatan publik. Karena BUMD merupakan Badan Publik yang mempunyai kewajiban mempublikasikan laporan tahunan kepada publik yang telah diatur Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dan secara khusus dalam Perda No. 12 Tahun 2018

Disisi lain lambatnya Pejabat Pengelola Informasi & Dokumentasi ( PPID ) dimana pejabat PPID mempunyai peran untuk menyediakan informasi dan dokumentasi untuk diakses oleh masyarakat, sebagai garda depan pelayanan informasi kepada masyarakat. Salah satu fondasi terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang terbuka. Di era transparansi yang didukung oleh kemajuan teknologi informasi saat ini, Pemerintah Kab. Jepara semakin dituntut untuk melakukan tata kelola secara transaparan dan akuntabel”, tapi yang terjadi masyarakat masih kesulitan mendapatkan informasi yang dimaksudkan.


Sulitnya dalam mengajukan permintaan informasi di Jepara, bisa dilihat pada salah satu kasus yaitu permintaan informasi publik sudah dilakukan secara bersurat resmi, tapi selama berbulan-bulan belum juga tidak ada tanggapan, yang seharusnya masyarakat menunggu jawaban resmi dari badan publik selama 10 hari masa kerja. Jika Badan publik masih menunda memberikan jawaban selama 7 hari kerja. Artinya, pada tahap awal dalam meminta informasi saja masyarakat masih membutuhkan waktu 17 hari untuk mendapatkan jawaban. Jika permintaan ditolak atau diabaikan oleh badan publik, masyarakat masih harus mengajukan surat keberatan kepada badan publik sampai 30 hari masa kerja, baru mengajukan penyelesaian sengketa informasi ke Komisi Informasi.



Korbankan Waktu

Melihat prosedur yang cukup rumit, hendaknya pemerintah darah bisa merumuskan formula baru yang lebih sederhana dan murah dalam penyelesaian sengketa informasi. Dengan prosedur yang saat ini sudah ada, bisa dibayangkan bagaimana kalau yang bersengketa informasi adalah masyarakat basis seperti nelayan, petani atau buruh ? Mereka harus mengorbankan waktu, tenaga, biaya, dan pikiran hanya untuk memperoleh informasi yang memang sudah dijamin dalam undang-undang.

Belum lagi jika masuk pada tahapan ajudikasi nonlitigasi, masyarakat basis dituntut harus mempunyai pengetahuan yang cukup. Mereka juga mungkin berhadapan dengan ahli hukum yang disewa oleh badan publik ketika proses ajudikasi berlangsung. Pada tahapan ini, posisi masyarakat benar-benar sangat tidak diuntungkan, terutama bagi masyarakat basis yang miskin dan tidak cukup pengetahuan.


Dengan kata lain, meski sudah dijamin dalam undang-undang, pada kenyataannya publik masih sulit ketika ingin memperoleh informasi di daerah. Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi publik menuliskan bahwa akses terhadap informasi merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin dan dilindungi konstitusi. Pada perubahan kedua UUD 1945 Pasal28 F dinyatakan bahwa: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Selanjutnya dikatakan bahwa tujuan pengaturan lebih lanjut adalah agar rumusan konstitusi dalam Pasal 28 F UUD 1945 tidak menjadi sekedar moral rights dan possession of a right, tetapi juga sebagai positive rights dan exercise of a right.


Penulis : Tri Hutomo, Ketua LBH Teguh Wicaksono Indonesia Kab. Jepara

Mempertanyakan Reformasi Birokrasi di Pemkab Jepara

 

Oleh : Tri Hutomo

Lpktrankonmasi.com, Jepara

Kekosongan jabatan di beberapa jabatan setingkat kepala organisasi perangkat daerah (OPD) di Pemkab Jepara masih terjadi. Sampai saat ini masih terus berlangsung dan diisi pelaksanaan tugas Plt dalam waktu beberapa bulan.

Kondisi tersebut menandakan reformasi birokrasi kurang berjalan baik. Sebab, keterbatasan wewenang pelaksana tugas bisa menghambat percepatan pelayanan sebagai salah satu item reformasi birokrasi. 

Seperti kita ketahui bersama,  jabatan-jabatan yang kosong saat ini memiliki fungsi vital dan stategis, seperti Direktur RSUD Kartini dan  Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Juga Kepala Puskesmas Kedung II yang dimutasi ke Karimunjawa. Juga kekosongan dewan pengawas di dua BUMD milik Pemkab Jepara, Perusda Aneka Usaha dan Perusda Air Minum Tirto Jungporo

Ini merupakan potret pengelolaan birokrasi yang kurang terencana dengan baik. Sebab pada  kasus  kekosongan jabatan karena pensiun yang waktunya dapat dilihat dengan mudah pada data kepegawaian. Sementara pada kasus Kepala UPT Puskesmas Kedung II kekosongan karena mutasi yang seharusnya  diisi bersamaan dengan dilakukannya mutasi  terhadap pejabat lama.  

Kekosongan jabatan ini tentu menghambat percepatan pelayanan yang menjadi salah satu isu reformasi birokrasi. Lambat karena ada keterbatasan yang bisa dilakukan oleh seorang pelaksana tugas. 

Kasus semacam ini bukan kali pertama terjadi. Bahkan pernah terjadi perangkapan jabatan dalam waktu yang lama di posisi Wakil Direktur RSUD RA Kartini yang kemudian diisi  oleh pelaksana tugas  Kepala Bapeda yang memiliki jabatan eselon II. Sementara wakil direktur RSD RA Kartini adalah eselon III.  Ini menabrak banyak regulasi dibidang kepegawaian dan bahkan  keuangan jika yang bersangkutan mendapatkan tunjangan.

Reformasi birokrasi ditujukan agar tata kelola pemrintahan disemua jenjang pemerintahan dilakukan dengan baik dan benar sekaligus menghilangkan kebiasaan buruk dalam tata kelola birokrasi. Karena itu bicara reformasi birokrasi sebenarnya  kita ingin menghilangkan budaya yang lama, melahirkan sebuah budaya yang baru yang lebih progresif dan baik. Salah satu contohnya dalam bidang pelayanan, dari 

Pelaksanaan reformasi birokrasi dalam bidang percepatan pelayanan akan sulit dilaksanakan oleh OPD yang kepalanya dijabat pelaksana tugas. Sebab memiliki kewenangan terbatas dibanding pejabat definitif. Pelaksana tidak dapat mengambil kebijakan strategis atau hanya memiliki kewenangan untuk urusan yang lebih bersifat administratif.

Oleh sebab itu diharapkan  Pemkab Kab. Jepara segera melakukan pengisian terhadap jabatan kosong atau yang sedang dijabat plt. Tak hanya itu, jabatan kosong lainnya yang sangat berpengaruh pada kinerja  BUMD pada pelayanan masyarakat juga harus segera diisi untuk pembenahan perbaikan layanan.

Sampai saat ini Dewan Pengawas BUMD (Perusda Aneka Usaha dan Perusda Air Minum Tirtojungporo) masih juga belum diisi. Padahal untuk suatu pengelolaan yang baik dan profesional suatu perusahaan sangat membutuhkan fungsi kontrol pengawasan, yang dalam hal ini adalah salah satu tugas Dewan Pengawas. Karena itu jika kemudian BPKP  menilai kinerja BUMD ini menurun, sangat beralasan.  

Indikator yang harus selalu dikedepankan dalam pengisian jabatan, adalah kualitas pejabat bersangkutan. Hal tersebut dilihat dari rekam jejak ataupun hasil penilaian yang dilakukan timsel, kekosongan ini bisa juga ada kaitannya pada bulan Juli 2021 ada Surat Rekomendasi dari KASN atas Pengaduan Dugaan Pelanggaran terkait Penilaian dalam Pelaksanaan Seleksi Terbuka Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Jepara.

Berdasarkan telaah dan  analisis dokumen  serta klarifikasi terhadap  para pihak terkait,  Komisi Aparatur Sipil  Negara (KASN) berkesimpulan dan mempertimbangkan beberapa hal pokok untuk merekomendasikan kepada Bupati Jepara selaku Pejabat Pembina Kepegawaian agar tidak mengusulkan kembali dua orang tim seleksi sebagai anggota Panitia Seleksi Terbuka atau Kompetensi di lingkungan Pemerintah Kabupaten Jepara untuk masa waktu 1 (satu) tahun yang akan datang.

Terkait pengisian jabatan tinggi pratama di Pemerintah Kabupaten Jepara nampaknya masih harus menunggu persetujuan usulan panitia seleksi yang sempat  ditolak KASN. Kini telah diajukan kembali  ke Komisi Aparatur Sipil Negara dan masih menuggu turunnya rekomendasi. 

Semoga penataan birokrasi di Jepara semakin baik.

Penulis adalah Sekretaris DPD Jaringan Pengawas Kebijakan Pemerintah, Kabupaten Jepara